Di Saudi Arabia, ada sebuah aturan agar seseorang diizinkan untuk berhaji. Aturan ini dikeluarkan oleh pemerintah. Seseorang yang akan berhaji harus punya syarat tashrih. Namun syarat ini hanya dikeluarkan lima tahun sekali. Artinya lima tahun sekali baru bisa berhaji. Selain menjadi keputusan pemerintah, syarat ini menjadi keputusan negara-negara Islam dalam naungan OKI[1].
Kadang aturan yang kami sebutkan di atas tidak diindahkan. Kami temui di kalangan mahasiswa bahkan yang kuliah di Jami’ah Islamiyah terkemuka melanggar aturan ini. Bukan hanya satu atau dua orang nekad untuk berangkat haji tanpa adanya tashrih ini, namun bisa ratusan orang. Akhirnya Makkah dan Masy’aril Harom jadi penuh sesak di antara sebabnya karena pelanggaran ini. Kalau kita menilai, sungguh yang mereka lakukan memang menyesahkan. Tujuannya memang baik yaitu ibadah. “Kita kan mau ibadah”, kata mereka. Tetapi di satu sisi itu melanggar aturan. Juga di sisi lain hanya menyesakkan tempat-tempat haji. Padahal ribuan orang ingin berhaji sampai harus mengantri bertahun-tahun, namun diresahkan dengan mereka-mereka yang secara ilegal datang ke tanah suci tanpa tasyrih.
Ada fatwa ulama Saudi Arabia yang kami temukan tentang masalah tasyrih ini. Fatwa pertama adalah dari Syaikh Dr. ‘Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau pun menjadi anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Beliau hafizhohullah ditanya,
ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟
Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tashrih? Mereka yang berangkat haji tanpa tashrih ini sengaja menggunakan pakaian ihrom setelah miqot sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat).
أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.
Pertama, tashrih ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tashrih ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tashrih sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasyrih ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasyrih ini.
Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta, mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihrom, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan.
Demikian fatwa Syaikh Al Khudair. (Silakan lihat di http://www.khudheir.com/text/875)
Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tashrih.
Al Mufti Al ‘Amm, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasyrih dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tashrih yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak).”
Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman Al Manii’ hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama berkata, “Barangsiapa berhaji tanpa tashrih, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tashrih seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahrom.”
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay’ah Kibaril ‘Ulama menyatakan tentang berhaji tanpa tashrih, “Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)”.
Syaikh Sulaiman Al Majid mengatakan, “Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasyrih. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan.”
Syaikh Yusuf bin ‘Abdillah Asy Syubaili, Guru Besar Fiqh di Ma’had Al ‘Ali Lil Qodho’ berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasyrih untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka mentaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad.”
(Kami sarikan penjelasan ulama-ulama di atas dari http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=549)
Bentuk Kezholiman Orang yang Berhaji Tanpa Tashrih
Kita sudah tahu bahwasanya wajibnya haji itu hanya sekali. Namun begitulah, kenapa sebagian orang nekad-nekadan untuk tunaikann haji. Katanya sih, “Kok mau ibadah haji saja dilarang?”
Ya ikhwan … Aturan ini dibuat karena ada maslahat. Di antara maslahatnya adalah agar orang tidak terlalu banyak yang berhaji, masy’aril harom tidak sesak. Coba bayangkan jika setiap orang nekad-nekadan seperti Saudara, berhaji tanpa tashrih, atau diistilahkan lewat jalur Cowboy (“Ngoboy”, kata mereka). Bukankah ini menyesaki Masjidil Haram, tempat thawaf, tempat wuquf dan lainnya? Saudara sama saja mengambil hak orang lain. Masih banyak yang ingin berhaji, yaitu tunaikan yang wajib, namun karena ada Saudara, akhirnya mereka pun susah. Bukankah demikian?
Sungguh, sikap yang baik, berilah kesempatan bagi mereka yang belum berhaji. Berilah kesempatan pada mereka jika Saudara tinggal jalankan haji yang sunnah. Cobalah miliki akhlaq sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar, di mana mereka saling mendahulukan saudaranya dalam kebutuhan padahal mereka sendiri butuh.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)
Saudaraku … renungkan hal ini. Cobalah seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling mendahulukan satu dan lainnya. Tidakkah kau ingin dapat keutamaan seperti mereka (Muhajirin dan Anshar)? Dahulukanlah saudaramu, di balik itu pasti ada balasan dari Allah dengan yang lebih baik.
Melanggar Aturan Penguasa Juga Berdosa
Saudaraku … Melanggar aturan penguasa juga sebenarnya keliru. Ini bukan sembarang aturan. Karena jika kita mentaati penguasa, sama saja kita mentaati Allah. Renungkanlah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)
Juga dalam sabda beliau,
مَنْ أَمَرَكُمْ مِنْهُمْ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ تُطِيعُوهُ
“Jika ada yang memerintah kalian untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah mentaatinya.” (HR. Ahmad. Dikatakan oleh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Tidak boleh mereka (satu pun makhluk) ditaati dalam kemungkaran. Yang dimaksud perbuatan ma’ruf (yang wajib ditaati) adalah perkataan yang dibolehkan oleh syari’at.” (‘Aunul Ma’bud, 7/208). Syarat tashrih adalah aturan makhluk yang tidak menyelisihi syariat, sehingga sudah sepatutnya ditaati.
Apalagi sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al Khudair, aturan tasyrih ada maslahat. Para ulama terangkan bahwa selama aturan penguasa itu ada maslahat, maka wajib ditaati. Aturan penguasa yang tidak wajib ditaati adalah aturan yang menyelisihi syariat Allah. Dan sama sekali aturan tasyrih ini tidak menyelisihi aturan Allah sehingga sudah sepatutnya ditaati.
Demikian, tulisan ini kami rangkai sebagai nasehat untuk mahasiswa KSU (King Saud University). Agama adalah nasehat. Hanya Allah yang beri hidayah dan petunjuk. Kami hanya sekedar menyampaikan.
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu bermanfaat.” (QS. Al A’la: 9)
Written on 4th Dzulhijjah 1431 H (10/11/2010), KSU, Riyadh, KSA
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Hal ini sebagaimana kami dengar dari Ustadz Erwandi Tirmidzi, MA, calon Doctor di Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud, dalam kajian Fiqh Haji di rumah beliau.